Kamis, 17 Agustus 2017

My Account My Rule!

Siapa yang masih suka baper kalau baca postingan orang lain di sosial media?
Kalau bapernya positif, artinya jadi "iri" lalu memacu semangat kita untuk berbuat kebaikan sama seperti yang posting sih, oke banget ya...
Tapi kalau bapernya bikin darah tinggi medadak ditambah lagi hati kebat-kebit mendidih lalu timbul dendam? Dududuh... Harus dibenerin deh mindset bersosial medianya.

Eh, tahu-tahu ngomongin baper di sosial media?

Iya, dua hari ini lagi menyimak perang "ideologi" antar teman sendiri.

Ngeri amat ngomongin ideologi? Heu... Semacam keyakinan yang sangat diyakini, orang lain yang nggak sejalan dengan keyakinannya berarti "salah".
Teman sendiri? Iya... Ini teman-teman di "inner circle" saya banget. Kenal sama teman-teman ini dan sedih aja bacanya. Saya sendiri nggak mampu kasih saran apa pun. Takut disemprot, haha...

Saya pernah sampaikan pemikiran saya tentang my account my rule di sini. Bahwa apa yang disampaikan seseorang di halaman sosial medianya, sudahlah nggak perlu dimasukkan hati. Sama saja dengan kehidupan "offline" kita kan, ada yang sesuai dengan hati kita, ada juga yang kurang sesuai bahkan nggak sesuai. Nah, yang nggak sesuai itu kalau mau negur kan juga ada etikanya.

Kalau prinsip saya sih semudah take it or leave it saja. Kalau sesuai, silakan tinggalkan jempol atau hati di sana. Bahkan beberapa pilihan emot sekarang sudah tersedia kan, nggak cuma jempol saja?
Lalu kalau nggak suka gimana? Ya tinggalkan saja. Kalau bisa di-hide, akan saya sembunyikan kiriman dia. Kalau nggak bisa disembunyikan ya tinggal scroll down  saja kan?

"Tapi dia ngeselin, nyindir-nyindir terus!!"
Nah lho, nah lho... Kok sampai kesindir terus? Heu...

Ketampar di sosial media, biasa kok. Saya juga sering. Kalau pas ketampar ya istigfar saja. Dia nulis gitu bukan lagi nyindir kita kok, sebenernya dia sedang menasihati dirinya sendiri. Eh, pas nasihatnya lagi kita butuhin juga, jadi ya senyumin saja. Lagian nih ya, dia kan cuma munculin di berandanya saja. Artinya yang kita lihat ya cuma berandanya, bukan bagian dalam rumahnya. Jadi ngapain baper?

Saya bakal balik lagi ke prinsip saya, my home my rule. Begitu juga halaman-halaman sosial media saya, my account my rule. Jadi teman-temanku yang baik, lebih produktif lagi yuk di sosial media. Timbang berantem mending sharing-sharing voucher apa kek, liburan lima hari ke Lombok sekeluarga, misalnya. Nah, itu jelas sangat produktif, heu... (ngarep).

Udah ah, jaga hati jaga jempol. MERDEKA!!!

#ODOP #ODOP17 #BloggerMuslimahIndonesia

Rabu, 16 Agustus 2017

Dirgahayu 72 Tahun Indonesia

Sudah sejak akhir pekan lalu, tiap sudut negeri ini terlihat sibuk. Atau tepatnya semarak. Bendera, umbul-umbul, cat warna warni dominan merah dan putih menghiasi setiap sudutnya. Memanjakan mata kita dengan warna kebanggaan negeri ini.

Kalau buat saya pribadi, sangat menyentuh. Membawa saya pada kenangan terdalam saat saya kecil dan bertumbuh remaja, bagaimana kami merayakan suka cita kelahiran negeri kami.

Saat sudah jadi orang tua begini, sebenarnya rasa yang ditanamkan pada generasi penerus kami pun sama dengan yang pernah saya rasakan dulu. "Repotnya" pun mirip lah. Menyempatkan diri banget menghias rumah dan lingkungan sekitar agar semarak, tampak merah putih banget. Kegiatan semacam lomba-lomba pun nggak pernah absen sejak dulu ya.

Selalu ada lomba makan krupuk, memasukkan pensil ke botol, balap kelereng sama pecah air pakai pelepah pisang. Sttt... De Tazya kemarin ikut lomba pecah air di sekolah dan menang dapat piala lho, heu...

Acara bersih-bersih lingkungan pun digiatkan, lomba olah dan gerak tubuh juga diadakan. Di Kelurahan saya, tiap tahun ada saja lomba bulu tangkis, voli, bahkan senam. Dan tahun ini diakhiri dengan jalan sehat pada Ahad lalu.

Seru? Iya banget. Anak-anak tiap tahun menanti momen ini. Seperti menagih ke kita nih sebagai orang tua, "besok tujuh belasan bikin lomba apa lagi?"
Dan kebetulan di perumahan saya sudah mulai banyak remajanya, jadi ibu-ibu yang biasanya tiap tahun ribet ngurusin lomba anak-anak, sekarang tongkat estafet mulai berpindah.

Dan malam ini, kami bersiap menghadiri malam tirakatan, istilah yang biasa kami gunakan saat berkumpul bersama seluruh warga, pada malam menjelang tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Acaranya selain doa bersama untuk Indonesia, akan ada pentas seni oleh anak-anak dan remaja. Yang paling ditunggu tentu saja pengumuman hasil lomba-lomba dan pembagian doorprize. Tak lupa, diakhiri dengan makan bersama, sebagai simbol kebersamaan dan kerukunan antar warga.

Well, saya siap-siap dulu ya...
Lepas Isya undangannya dan saya memang seperti biasa, nggak bisa hadir sampai selesai. Sebagai warga yang nggak terlalu baik (ngaku), saya harus memikirkan hak anak saya juga. Besok dia harus tetap ke sekolah untuk ikut upacara di sekolah, tapi malam ini harus datang tirakatan karena katanya kemarin menang lomba makan krupuk, heu...

Dirgahayu Negeriku...
Barakallah, sudah 72 tahun dan insya Allah selamanya menjadi negeri penuh berkah dalam lindungan Allah SWT. Aamiin...


#ODOP #ODOP16 #BloggerMuslimahIndonesia

Selasa, 15 Agustus 2017

Hanya Kisah "Thousand Paper Cranes"

Sebenarnya saya belum pernah sungguh-sungguh membaca kisah tentang 1000 bangau kertas (a thousand paper cranes) yang dipercaya "mengabulkan" satu permintaan kita. Kalau seseruan bikin bangau kertas banyak-banyak lalu bertekad menyelesaikannya hingga seribu, lalu membuat satu permintaan sih pernah. Hasilnya, paling banyak waktu itu bikin 120-an bangau kertas, lalu terlupakan begitu saja. Capek, sungguh. Lelah, Bang...

Tuuuhh...
Yang di sekeliling bocah kecil itu hanya sebagian kecil saja. Kurang lebih 2 tahunan lalu, saat De Tazya belum sekolah, dan mamanya cari kesibukan buat dia. Waktu itu balapan bikin bangau kertas. Mama yang bikin, dia yang ngacak-acak. Heu...

Hari ini, tetiba ingat kisah seribu bangau kertas, gara-garanya juga De Tazya ini. Pulang sekolah cerita, kalau tadi habis bikin rumah dari kertas origami. Rumahnya bagus lah, ada jendelanya lah, pintunya lah, dikasih nama TAZYA lah, and de bre and de bre...

Hasilnya? Apa lagi selain mamanya bongkar rumah! 
Sudah yakin sih kalau di rumah nggak tersisa kertas origami, tapi doi ngotot katanya ada. Nyatanya? Ya nggak ada lah, hihihi...
Dan mamanya mendadak migren di siang bolong, lalu curhat di facebook.

Well, sedikit mengingat ah, sebenernya dari mana sih kisah seribu bangau kertas ini? Kalau kata wikipedia sih begini.

Dari semua kisah tentang seribu bangau kertas yang saya baca, semuanya bilang kisah ini berasal dari Jepang. Iya sih, bangau-bangau yang dibuat dengan melipat kertas ini kan memang identik sama seni melipatnya Jepang alias origami itu kan? Katanya, siapa pun yang bisa membuat bangau dari kertas ini sebanyak seribu lalu dirangkai jadi satu, maka satu permintaannya akan terkabul.

Misalnya, kalau lagi sakit lalu ingin segera sembuh, maka lipatlah seribu kertas membentuk bangau dan buatlah permohonannya. Niscaya, permohonan itu akan dikabulkan. Karena by the way, sesuai kepercayaan masyarakat Jepang, bangau adalah salah satu makhluk suci yang dapat hidup hingga ribuan tahun.

Pada tradisi yang lain, kisah seribu bangau kertas merupakan sebuah hadiah yang diberikan oleh pihak ayah yang mengharapkan kebahagiaan dan kemakmuran anak serta menantunya. Bisa juga diberikan pada bayi yang baru lahir agar berumur panjang dan sehat. Dipercya pula bahwa dengan menggantung seribu bangau kertas.bisa dijadikan sebagai jimat pembawa keberuntungan.

Kisah lain adalah tentang Sadako Sasaki, gadis Jepang yang berjuang melawan sakit leukimia akibat radiasi ledakan bom atom di Hiroshima pada Perang Dunia Kedua. Kisah ini diangkat sebagai simbol perdamaian dunia. Pada saat itu Sadako mencoba membuat seribu bangau kertas, namun saat mencapai jumlah 644 ia meninggal. Teman-temannya meneruskan impian itu hingga bangau kertasnya genap seribu dan menguburkan semua bersamanya.

Entah dari mana dan apa sebenarnya yang melatar belakangi kisah seribu bangau kertas ini. Kalau saya sih, buat seru-seruan saja. Bisa seru beneran kok. Pernah membayangkan, saat bangau-bangau itu bisa saya rangkai dengan benang lalu saya pasang sebagai partisi di rumah, lucu kan? Semacam pengganti tirai, gitu. Dan, mendapati "sisa" kertas origami De Tazya hari ini, jadi pengin bikin lagi bangau-bangau kertas itu. Tantangannya adalah, bisa nggak ya istiqomah sampai jadi tirai lucu? Semoga...

#ODOP #ODOP15 #BloggerMuslimahIndonesia

Senin, 14 Agustus 2017

Celengan Rumah Amelia

Amelia memiliki dua saudara kandung, kak Daffa dan mas Ariel. Sore itu mereka sedang berkunjung ke rumah kakek, bersama tiga sepupunya, Melati, Mario dan Dahlia. Hampir tiap akhir pekan mereka bertemu dan menginap di rumah kakek neneknya itu. Saat sedang bermain di teras, kakek yang datang dari bepergian membawa sebuah kantung besar, sepertinya berisi beberapa bingkisan.

“Nih, kakek belikan kalian celengan!” sambil meberikan celengan kepada masing-masing cucunya. Amelia, Melati dan Dahlia mendapat celengan berbentuk rumah mungil dengan cerobong asap di atapnya. Sedangkan untuk cucu laki-lakinya, kakek membelikan celengan berbentuk kereta, juga ada cerobongnya. Di masing-masing celengan ada semacam pintu yang diberi gembok dan bisa dibuka.
          “Menabung itu kebiasaan yang baik,” kata kakek. “Sisihkan uang jajan kalian, sedikit demi sedikit uang itu akan menjadi banyak dan bisa digunakan saat kalian membutuhkannya.”
           “Aku mau beli lego!” seru kak Daffa dan Mario kompak.
       “Aku juga!” kata mas Ariel tidak mau kalah. “Nanti kita susun bareng ya,” lalu mereka bertiga saling tos, kompak sekali.
          “Kalau aku dan Dahlia sudah lama sekali ingin beli squishy. Ya kan, Dahlia?” tanya Melati. Dahlia mengangguk, setuju dengan Melati.
            “Kamu mau beli apa, Amelia?” tanya Dahlia pada Amelia. Amelia tampak bingung karena memang belum punya ide mau dibelikan apa uangnya nanti.
               “Ummm... Apa ya? Ummm... Nanti aku pikirkan lagi deh,” jawab Amelia sekenanya. Kakek yang membawa kehebohan ini, ikut nimbrung dan tertawa.
               “Kalian cucu-cucu yang pintar. Tapi, menabung bukan hanya untuk beli barang-barang yang kalian inginkan saja. Suatu saat ada teman atau saudara kita membutuhkan bantuan, bisa kita bantu dengan uang tabungan itu. Ayah ibu kalian menabung untuk menyiapkan uang sekolah atau biaya berobat saat kalian sakit. Apapun kegunaannya kelak, menabung sangat baik dilakukan.”
              “Sekarang kakek mau bikin tantangan, kalian siap?” ujar kakek. Keenam cucunya menunggu dengan penasaran. “Kakek akan tambahkan sebanyak uang celengan kalian selama dua bulan ke depan, dan kita akan pergi ke kebun binatang. Gimana, setuju?”
           “Setujuuuuu...” sahut cucunya kompak. Lalu dimulailah tantangan dari kakek. Semua berlomba menabung sebanyak-banyaknya supaya bisa puas bermain di kebun binatang nanti.


*****

Hari yang penuh semangat dimulai. Setiap anak berusaha menyisihkan uang jajan mereka. Kak Daffa, mas Ariel, Amelia, Melati, Mario dan Dahlia saling mengabarkan kondisi tabungan mereka setiap hari. Ayah dan Ibu pun ikut menyemangati agar mereka selalu rajin menabung.
Namun suatu hari, tanpa sengaja Amelia menumpahkan cat ke baju seragam Bunga, teman sekelasnya, saat pelajaran mewarnai. Amelia sangat menyesal, karena kecerobohannya membuat Bunga sedih. Pasti Ibu Bunga akan marah sekali karena seragamnya kotor, pikir Amelia.
Esok harinya, Amelia membawa seluruh uang di celengan untuk diberikan pada Bunga. “Bunga, aku minta maaf ya karena kemarin ceroboh. Kamu pasti perlu seragam baru, tapi aku tak bisa bantu banyak. Tabunganku hanya segini.” Sambil minta maaf, Amelia berikan uang untuk membantu beli seragam baru.
Bunga terkejut sekaligus terharu. Ia langsung memeluk Amelia, sembari menyampaikan rasa terima kasihnya. “Nggak apa-apa Amelia, aku sudah maafin kamu. Terima kasih banyak kamu peduli sama aku,” pungkasnya.
Dua orang kakak dan saudara sepupunya menyalahkan Amelia.
“Kamu pasti akan kesulitan mengumpulkan uang lagi!” kata kak Daffa.
“Amelia nggak asyik ah, kalau nggak punya uang nggak usah ikut ke kebun binatang ya?” Dahlia pun menimpali.
Amelia sedih mendengar saudaranya berkata begitu. Tapi ia senang karena bisa membantu Bunga dan berjanji untuk lebih rajin menabung. Hingga tak perlu waktu lama, uang Amelia di celengan sudah melebihi jumlah yang kemarin diberikan pada Bunga.
Amelia sudah mulai giat menabung, jumlahnya hampir sama dengan jumlah uang mas Ariel. Tapi ia dengar kalau Bundanya Mayang melahirkan. Sebagai sahabat Mayang, Amelia juga akrab dengan Bundanya. Karena itu Amelia ingin memberi bingkisan untuknya.
Amelia bingung karena itu artinya ia harus menguras celengannya lagi. Minta uang ke Ibu jelas tidak mungkin, karena Amelia ingin memberikan sesuatu dari hasil jerih payahnya sendiri. Setelah mempertimbangkan masak-masak, ia memutuskan untuk tetap memberikan bingkisan dari uang celengannya sendiri.
Lagi-lagi Amelia ditertawakan oleh kelima saudaranya. “Lihat saja, nanti Amelia hanya bisa duduk menunggu sambil makan pop corn,” si kecil Mario ikut berkomentar.
“Ya, benar. Nanti kita keliling naik kereta mini, tapi Amelia tak punya uang untuk membayarnya!” sahut mas Ariel, tidak menghibur adiknya sama sekali.
“Kalau aku mau keliling naik gajah saja,” tambah Melati dan Dahlia kompak.


                *****

          Hari yang dinanti tiba. Keenam cucu sudah berkumpul di rumah kakek, siap melaporkan jumlah uang di celengan. Kak Daffa, mas Ariel, Melati, Mario dan Dahlia sudah membongkar celengannya dan mendapatkan tambahan uang dari kakek, sejumlah uang dalam celengan.
            Mereka tampak sangat gembira, terbayang sudah keriaan di kebun binatang nanti. Sekarang giliran Amelia yang membongkar celengan. Dengan ragu-ragu Amelia membukanya. Ia takut kakek kecewa dan tidak akan mengajak ke kebun binatang karena uang di celengan itu hanya beberapa ribu saja.
       “Maafkan aku, Kek. Aku Cuma punya segini,” kata Amelia sambil menunjukkan isi celengannya. Tak diduga, kakek malah tersenyum dan memeluk penuh kasih sayang.
            Amelia diajak duduk di sebelah kakek. ”Kenapa sedih? Kakek sudah dengar dari Ibumu, kalau kemarin kamu bantu Bunga beli seragam baru. Kakek bangga, kamu sudah jadi anak yang bertanggung jawab.”
                Amelia menatap kakek dengan bingung. “Kakek nggak marah?”
             “Tentu tidak,” jawab kakek. “Kamu juga sudah melakukan hal yang sangat mulia, berbagi kebahagiaan dengan Bundanya Mayang. Tentu apa yang kamu beri akan melengkapi kebahagiaan mereka.”
             Kakek pun melanjutkan, “Bagus, Nak. Kakek tahu kamu sudah berusaha mengumpulkan uang demi cita-citamu pergi ke kebun binatang. Tapi kamu tak lupa untuk tetap peduli pada sesama,” lanjut kakek sambil membelai rambut cucunya. “Nggak ada yang salah dengan apa yang kamu lakukan. Kakek tetap bangga walaupun celenganmu hanya berisi beberapa ribu saja.”
                Tak disangka kakek tetap memberikan uang dua kali lipat dari jumlah yang pernah Amelia kumpulkan di celengan, dan diberi “bonus” lagi sehingga kini jumlah uang Amelia paling banyak dibanding lima saudaranya. Amelia sangat bahagia karena bisa ikut bersenang-senang di kebun binatang.

Amelia berjanji tidak akan menghabiskan semua uang itu karena sisanya akan ia masukkan celengan lagi. Seperti pesan kakek, menabung memang baik. Tapi akan lebih baik lagi kalau uang tabungannya juga bisa berguna untuk sesamanya.

Minggu, 13 Agustus 2017

My Home My Rule

Happy (already) Monday, Bu-ibu...

Bagi saya yang single fighter, nggak pernah kenal weekend. Tahu-tahu sudah Senin lagi, seperti Minggu sore sekarang ini. Aura Senin sudah ngintil sejak lepas Ashar tadi. Ditambah lagi kak Rafa yang nggak mau tukar jadwal les, maunya tetap hari Minggu, jadilah tiap Minggu mamanya jalan-jalan juga anter dia les ke kota.

Saya termasuk orang yang sangat berpegang pada "my home my rule". Apa yang kami lakukan di rumah, itu urusan kami. Di balik tiap pintu rumah, ada aturan, kesepakatan, kebiasaan, yang tentu berbeda satu dengan lainnya. Apa di balik sana, bukan urusan saya. Pun apa yang ada di sini, bukan pula untuk diketahui orang lain.

Sayang masih ada yang kepo, tanya ini itu di balik pintu rumah saya. Sekali dua nggak papa sih, saya masih bisa jawab pakai jurus retoris saya. Tapi kalau berulang ditanya hal yang sama, seolah mereka tahu kalau jawaban saya saat itu cuma retorika, kan ngeselin! Iya, saya ngeselin kan? Hahaha...

Hal sepele sih sebenernya yang ditanyakan. "Rafa kalau berangkat pagi banget ya, nggak kepagian tuh?" atau, "pantesan nggak pernah main, pasti bobok sama bangunnya harus gasik ya biar bisa berangkat pagi?"

Hihihi... Itu salah satu aja sih. Kok saya jadi baper gini? Heu...

Well, nggak papa. Barusan kejadian soalnya, lepas Magrib anak-anak kompleks kembali berlatih buat persiapan tujuh belasan di sini, tapi anak-anak saya pilih melipir ke dalam rumah, Dan timbullah pertanyaan itu lagi (disenyumin aja).

Maafkan saya yang nggak bisa membuat anak-anak ikut partisipasi acara setahun sekali itu. Yes, kami butuh energi lebih banyak untuk pergi ke sekolah, belajar di sekolah, dan pulang dari sekolah. Jarak rumah - sekolah sekitar 10 km, harus kami tempuh tiap hari dan saat ini ada ruas yang sedang perbaikan, memaksa kami sedikit bersabar untuk bergantian menggunakan lajur jalan yang ada. Hanya kami yang bisa "mengukur" kemampuan kami melalui hari-hari kami. (tsaahh)

Saya bersyukur, dengan kerewelan khasnya, anak-anak masih dalam "aturan saya", tiap pagi maksimal dari rumah pukul 06.10, atau kita akan terlambat sampai sekolah. Dengan berangkat lebih pagi, artinya:
1. Anak-anak akan punya jeda saat sampai di sekolah. Bisa duduk-duduk dulu, menyapa beberapa teman, mungkin berlarian sekadar pemanasan dengan happpy di pagi hari. Bukan langsung duduk manis dan belajar dengan serius, apalagi pakai acara "dihukum" karena terlambat. Walaupun hukumannya cuma disuruh menyebutkan 99 Asmaul Husna saja sih, tapi kan jiper juga.

2. Anak-anak jadi lebiih menghargai waktu. Bahwa ada batas yang harus kita penuhi. Saat kita melewati atau melanggar batas itu, artinya kita sedang merugi. Merugi soal waktu, kita tak bisa mengulangnya.

3. Nggak terburu-buru di jalan. Kecepatan saya bawa motor maksimal 40-50 km/jam saja. Sambil ngobrol sama anak-anak, kadang nyanyi-nyanyi, atau mengecek hafalan dek Tazya. Pemandangan sepanjang jalan pun sangat mendukung, hijau, sejuk, sayang kalau dilewatkan dengan ngebut, hehe...

4. Terpenuhi hak mamanya, karena dengan segera mereka sampai di sekolah, saya bisa segera kembali ke rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah dan terntu saja setelah itu bisa onlline. Yup, sebagai pekerja online tentu saya harus segera kembali ke kantor saya, menyelesaikan semua kewajiban saya sebelum kembali ke rutinitas menjemput anak-anak dari sekolah dan menemani hari-harinya di rumah.

Hmm... Lega! Memang paling enak "nyampah" di blog sendiri kan ya, heu...
Udah ah bapernya. Ini cuma satu di antara banyak "my home my rule" yang pada kenyataannya hanya bisa saya jawab dengan jawaban retoris alias melipir tak berujung. Biarlah menjadi teka-teki apa saja di balik pintu rumah saya, seperti teka-teki tak berujung di balik pintu rumah mereka.

Selamat malam menjelang Senin.
Stay waras, stay strong. Love love...

#ODOP #ODOP13 #BloggerMuslimahIndonesia


Sabtu, 12 Agustus 2017

First Time Pakai Fasilitas BPJS

Saat masih kerja, saya dapat fasilitas semacam BPJS. Namanya waktu itu Askes atau apa ya, saya nggak begitu ngeh karena memang nggak peduli. Menganggap itu hanya fasilitas yang memang layak dimiliki karyawan. Selama kerja pun saya hampir nggak pernah menggunakannya. Sekali atau dua kali untuk berobat di klinik yang ditunjuk, dan dipakai mengcover waktu melahirkan.

Saat lahiran pun waktu itu kalau nggak salah pakainya reimburs (bener nggak ya nulisnya gitu, haha...), saya bayar dulu, urus surat ini itu baru nanti suami urus ke kantor Askes untuk dapat ganti biaya melahirkan sekian persennya aja. Iya, nggak full cover, entah kenapa. Dan saya nggak pengin tanya-tanya juga. Lahiran sehat selamat aja udah happy banget ya.

Bertahun kemudian, untuk urusan kesehatan, kami nggak pernah pakai tuh kartu-kartu sakti untuk berobat. Alhamdulillah dikasih sakit yang penyelesaiannya bisa dilakukan dengan "obat warung". Anak-anak sakit pun dibawa ke nakes dekat rumah yang dari biaya masih sangat terjangkau dan cocok. Yang paling penting memang menjaga supaya nggak sering-sering sakit, heu...

Nah hari ini tadi pertama kalinya saya pakai fasilitas BPJS, kartu sakti untuk berobat yang sudah kami miliki lebih dari 2 tahun ini. Awalnya karena kak Rafa mengeluh kaca matanya mulai kabur dan saya ingat ukuran kaca mata yang ini sudah dipakai setahun lebih. Dokter matanya saat itu pernah bilang, kalau anak-anak sebaiknya cek mata setiap 6 bulan.

Kak Rafa periksa mata pertama kali saat kelas 2 SD dan kami lakukan dengan biaya mandiri. Selain nggak suka berurusan dengan ribetnya alur atau prosedur pelayanan BPJS, waktu itu sebenarnya kami nggak paham kalau BPJS bisa dipakai untuk (hanya) cek mata miopi. Sampai setahun lalu, suami yang juga mulai bermasalah dengan jarak baca (yang ini karena faktor usia haha...), pergi ke Puskesmas mengurus surat rujukan dan periksa mata sampai dapat kaca mata dengan gratis pakai fasilitas BPJS.

Sebulan lalu, saya pun mondar mandir ke rumah sakit, nemenin bapak saya yang mau terapi laser untuk 2 matanya karena katarak sekunder. Dan, semua proses itu GRATIS! Benar-benar NOL rupiah, dengan pelayanan yang memuaskan. Dokter, perawat, semua petugas di sana ramah dan sangat helpful. Jadi, jelas dong saya akhirnya tertarik untuk memanfaatkan iuran yang sudah kami bayarkan tiap bulan untuk cek mata kak Rafa.

Pergilah kami pagi tadi ke Puskesmas. Kebetulan pula sakit kepala saya belum hilang sejak serangan vertigo Rabu lalu. Masih berat aja bawaannya, nggak enak buat bergerak. Jadilah kak Rafa minta rujukan, mamanya periksa, heu...

Alhamdulillah lancar, sambil nahan kepala yang sangat berat tadi, saya pulang megantongi 3 jenis obat. Yang salah satu obatnya memang bikin ngantuk, seperti yang disampaikan ibu di bagian farmasi, "obat yang ini bikin ngantuk ya Mbak."

Kontan saya sehari ini tadi merasa ngantukan haha...
Lumayan bisa merem agak lama dan sekarang pun udah mulai ngantuk lagi. Malam minggu ngantuk pun tak apa, weekend memang saat saya recharge energi walaupun nggak selalu bisa dengan selonjoran atau tiduran sepanjang hari. Hihihi...

Well, balik lagi ke BPJS ya...
Kalau menurut saya, kartu satu ini lumayan membantu kok. Memang sih nggak ada yang pengin sakit, tapi setidaknya saat kita sedang diberi nikmat sakit, iuran kita tiap bulan ini lumayan membantu kok. Asal, mau "ribet", sabar dan ikutin alurnya. Ribetnya pun sebenernya nggak ribet-ribet amat, maksud saya kita hanya perlu ngikutin step-step yang ditentukan supaya bisa memanfaatkan fasilitasnya secara optimal.

Kalau nggak pernah sakit gimana? Rugi dong...
Bismillah, diniatkan bantu orang lain. Karena iuran yang dibayarkan rutin itu memang dimanfaatkan secara subsidi silang. Yang nggak sakit, uangnya dipakai dulu bantu yang sakit. Saat kita sakit, tenang aja, uangnya pasti bisa dipakai juga kok.

Dan oiya, saya baru tahu ada mobile JKN yang bisa diunduh di smartphone kita. Salah satu fitur yang saya suka adalah kita bisa mengubah sendiri faskes 1 pilihan kita tanpa perlu pergi ke kantor BPJS sana.

Sedang saya pelajari nih, mau pilih-pilih faskes yang lebih mudah dijangkau, lebih fleksibel jam pelayanannya dan tentu saja dukungan fasilitas penunjang semacam laboratoriumnya ada atau nggak. Karena sakit nggak kenal waktu, jadi saya perlu faskes yang fast respon. Di Puskesmas tadi udah bagus kok, puas saya. Sayang, jam buka masih belum mendukung kondisi darurat.

#ODOP #ODOP12 #BloggerMuslimahIndonesia

Jumat, 11 Agustus 2017

Ai Lop Yu yang Kekinian

Tiba-tiba pengin ngomongin pak suami, hihihi...

Jagad sosial media sedang ramai ngegombalin suami, ngajak tebak-tebakan pake city car yang tahun lalu mau beli aja pake inden. Banyak yang "yieess... konek sama suami", tapi tak sedikit yang harus memendam kecewa dalam hati. Alih-alih berbuah ngakak bareng, yang ada malah berantem, salah paham, bahkan suami yang mendadak sewot karena mengira istri mulai merajuk minta mobil baru.

Dududu...
Awalnya juga saya nggak sengaja nemu di facebook, lalu membagikannya di beranda saya sendiri. Eh, beberapa teman ikut mencoba ke suaminya dan hasilnya seperti di atas tadi. Ada yang ngakak berdua, ada yang terpotek-potek hatinya. Kalau saya, cukup menikmati saja kegaduhan itu dengan ngakak-ngakak sendiri. Hiburan macam begini lumayan juga buat saya, hahaha...

Jujur, saya nggak berani nyoba ke suami, udah kebayang bakalan garing sih. Kebetulan, tiap lepas magrib suami video call anak-anak ke rumah. Iseng deh sayanya tanya ke suami, dan ternyata bisa! Dia bisa nebak! Haha... Girang hati saya. Lagi ngakak sama suami, tiba-tiba ditabok kak Rafa "PLAK"!!

Makin ngakaklah saya dan suami (emot ngakak).
Kak Rafa sewot kalau mama abinya sok romantis!!

Suami saya memang bukan macam suami di sinetron, yang tiap hari penuh sanjungan dan kata-kata mutiara. Malah kadang saya sering "modus" supaya digombalin. Lihat deh salah satunya pose yang malu-malu di foto berikut.











Haha... Jangan mual lihat foto saya, plisss...

Sejak kami LDR, saya memang minta ke suami untuk lebih romantis lagi. Selain menjaga chemistry karena lebih sering berjauhan, juga untuk menjaga feel anak-anak kalau mereka juga punya keluarga yang utuh. Romantisnya nggak cuma waktu suami di rumah aja, tapi juga pada saat kami berkomunikasi baik bertelepon maupun video call.

Repotnya, semakin besar kak Rafa, dia tahu istilah pacaran, dan kalau pacaran itu bakal diolok-olok. Awalnya sih cuma "cieee mama... cieee abi...", lama-lama dia seperti menolak. "Mama, jijik tahu denger begitu," katanya pada saat saya dan abinya, misalnya, mengakhiri pembicaraan dengan "ati-ati di sana ya, I love you."

Pun adiknya yang baru genap 5 tahun, ikut-ikutan kakaknya. Kalau abinya di rumah dan dekat-dekat ke mamanya, dia pasti marah. Kalau panggil saya dengan "sayang", langsung ditabok. Katanya nggak boleh! Hahaha...

Sekalian deh kami kenalkan pacaran halal. Bahwa apa yang mama dan abinya lakukan itu dibolehkan. Kalau ada yang sayang-sayangan lalu "ciee ciee" itu karena sesungguhnya belum boleh dilakukan. Tapi kalau suami istri, mama abi ke anak-anak atau sebaliknya, kakak ke adik, itu boleh dilakukan. I love you bukan sesuatu yang tabu, begitu juga abi yang cium kening mama atau mama peluk-peluk bahu abi, sama saja dengan mama yang tiap hari cium dan peluk anak-anaknya.

Selama dilakukan dalam keluarga inti (kak Rafa sudah belajar mengenai keluarga), itu boleh-boleh saja bahkan harus dilakukan. Karena akan semakin menguatkan rasa cinta dan sayang kita dengan keluarga. Mudah-mudahan kakak dan adik memahami ini semua dan saling menyayangi selamanya.

So, apa kabar fenomena Ai Lop Yu ala-ala city car tersebut? Silakan coba dengan pasangannya, semoga berhasil. Good luck!!!

#ODOP #ODOP11 #BloggerMuslimahIndonesia

Kamis, 10 Agustus 2017

MANIS SEPAT TEH MELATI DARI SLAWI

Slawi, sebuah kota kecamatan sekaligus ibukota Kabupaten Tegal. Kota kecil di bagian barat Jawa Tengah ini memang lebih identik dengan Tegal, walaupun letaknya berjarak sekira 14 kilometer di selatan kota Tegal. Tidak terlalu berada di pesisir utara, tidak pula berada di dataran tinggi. Kota kecil yang nyaman, dengan aroma khas teh melati yang menguar sepanjang jalan dari pabrik-pabrik teh yang sudah ada sejak tahun 1940-an.

Salah satu tradisi masyarakat Slawi adalah minum seduhan teh melati, terutama di pagi dan sore hari. Seduhan teh hitam beraroma melati yang wangi, panas, legi (manis) dan kenthel (kental) alias WASGITEL adalah mood booster andalan masyarakatnya. Pagi sebelum beraktifitas kurang bergairah kalau belum “ngeteh”. Begitu pun sore hari selepas kerja, penat di badan akan sulit beranjak kalau belum disuguhkan si Wasgitel.

Teh yang disajikan dalam keadaan kental pekat ini akan ditambahkan banyak gula ke dalamya. Hingga didapatkan rasa manis dengan sedikit sepat di lidah. Apalagi kalau tehnya diseduh dalam teko dari tanah liat, dituang ke cangkir tanah liat pula dengan pemanis gula batu. Dijamin tak ingin beranjak dari kota kecil ini.

Konon teh melati ini tercipta secara tak sengaja. Saat Belanda masih berkuasa di negeri ini, para tuan tanah pemilik perkebunan teh hanya akan menjual daun teh terbaik. Daun teh dengan kualitas buruk akan diolah oleh penduduk setempat dengan menambahkan bunga melati untuk menghilangkan bau apak, sehingga didapatlah teh melati yang melegenda ini.

Belum pernah singgah di Slawi? Sekali waktu bertandanglah kemari. Saat dalam perjalanan mudik dari Ibu Kota menuju kota-kota di Jawa bagian tengah dan timur, berbeloklah sedikit ke arah selatan dari kota Tegal. Saat melewati jalanannya dan mulai tercium wangi melati yang memenuhi sudut kota, dipastikan Emak sudah memasuki Slawi. Siang hari menjelang sore proses pengeringan teh dimulai. Dari cerobong asap pabrik teh menguar aroma khas tersebut.

Kalau angin sedang “bersahabat”, bau wangi itu akan bisa dinikmati sampai radius 3 kilo meter. Itulah kenapa, teh melati sudah menjadi semacam candu buat masyarakatnya. Apa yang dicari anak rantau saat kembali ke kampung halaman? Selain pelukan ibunda, tentu juga seduhan teh melati ala Sang Ibu. “Tak ada teh selezat buatan ibuku,” begitu kira-kira slogan di setiap rumah.


Beruntunglah, produk teh melati ini sekarang mudah didapati di banyak minimarket, bukan hanya di daerah Slawi dan Tegal saja. Jadi setiap perantau bisa menikmati secangkir teh penawar kerinduan di rumah masing-masing. Apa resep penyajian teh senikmat itu? Silakan tanyakan ke rekan Emak yang asli Tegal. Dia akan dengan bangga mengajari Emak membuat teh poci gula batu Wasgitel yang melegenda itu. Mari minum teh, mari berbagi cerita dari hati.

#ODOP #ODOP10 #BloggerMuslimahIndonesia

Rabu, 09 Agustus 2017

Kejutan dari Vertigo (Lagi)

Bismillah...
Malam ini menulis sambil keliyengan. Dapat bonus "spinner" dini hari tadi, sekitar pukul tiga. Sudah trauma setrauma-traumanya, nggak pengin dapat kejutannya lagi. Qodarullah, pagi tadi "disapa" lagi.


Pernah dengar vertigo? Atau pernah mengalaminya? Googling deh, banyak referensinya kok. Yang pernah mengalami kaya saya ini, sepertinya bakal trauma deh. Iya, nggak enak banget ruangan muter, melek salah merem salah, diem salah gerak salah, duh...

Pertama kali saya kena serangan vertigo sekitar tahun 2008, saat itu usia kak Rafa belum genap setahun, Entah apa sebabnya, sore hari bangun tidur, tiba-tiba dunia berputar. Muntah-muntah hebat sepanjang malam dan berhasil "mengimport" ibu saya untuk menemani saya selama beberapa hari. Alhamdulillah nggak lama, kurang lebih semingguan saya sudah pulih lagi, beraktifitas seperti biasa lagi.

Setahun berselang, kejadian sama kembali terjadi. Kalau yang ini saya lupa persisnya kapan serangan vertigo datang. Seingat saya, yang kedua ini jauh lebih parah dan lebih lama. Saya nggak turun dari tempat tidur hampir dua minggu, jalan pun nggak berani cepat, malah sambil berpegangan tembok, nggak berani sujud solat karena bakalan langsung muter. Saat diperiksakan, nggak ada masalah di saya. Dokter hanya menyarankan supaya saya rileks, jangan terlalu capai apalagi stres.

Saran dokter diikuti, tapi sampai tiga bulan tak kunjung datang keberanian saya untuk pecicilan lagi. Sempat terpikir untuk cek apalah itu yang rekam-rekam isi kepala, tapi saya takut. Takut hasilnya bikin saya makin ngedrop. Banyak-banyak berdoa dan melakukan aktifitas yang menyenangkan hati, supaya kepala nggak tegang dan segera kabur vertigonya.

Di saat sudah mulai pasrah, seorang kawan yang tak sengaja bertemu setelah sekian lama berpisah (tsaahh) cerita, kalau ayah dia bisa bantu sembuhin vertigo. Nggak pakai obat, hanya dipijat di punggung aja supaya rileks. Well, saya ke sana dong. Kebetulan rumahnya di Salatiga, sekitar 1 jam dari Semarang. Awalnya tiap minggu saya ke sana, sebulan kemudian hanya diulang setiap dua minggu. Kurang lebih tiga bulan saya rutin ke sana, Alhamdulillah sudah bisa sujud dengan sempurna.

Sempat takut saat tahun 2011 hamil anak kedua, nanti kalau melahirkan, menahan sakit dan mengejan tiba-tiba berputar lagi gimana? Alhamdulillah saya cuma parno, hehe...
Seingat saya, sejak terapi di Salatiga, saya nggak pernah dapat serangan hebat lagi. Pernah kepala rasa agak berat dan pusing di kantor (saat masih kerja) sekitar tahun 2012, tapi nggak berkelanjutan. Tahun 2014 (kalau nggak salah) juga pernah (seperti) vertigo lagi. Tapi cukup dengan tidur seharian, gejalanya hilang lagi.

Nah, kejadian lagi tadi pagi. Lumayan berat karena saya sampai muntah-muntah, cuma ada anak-anak di rumah, nggak sempat memberi kabar siapa-siapa karena muntah-muntah hebat sampai lemas. Sayangnya lagi, saya nggak punya persediaan obat vertigo. Ada sih dua butir, tapi saya nggak yakin masih layak minum. Kalau nggak salah itu saya beli 2014 lalu haha...

Akhirnya ditahan-tahan sampai pagi datang, dengan "tertatih" mengantar anak-anak ke sekolah sekalian ke apotek untuk beli obat. Lucky me, uang di dompet tinggal 50 ribu dan 3 mesin ATM yang saya temui semua nggak ngerti jeritan hati saya. Mungkin karena terlalu pagi, mereka masuh offline mode semua, hahaha... Kasihan ya sayaaaa (emot sedih).

Fyi, terakhir saya beli obat vertigo, sekitar tiga tahun lalu, sebutirnya 13 ribu. Kalau sekarang bisa jadi sudah naik, dan saya butuh paling nggak 3 butir untuk sehari ini. So, nekat aja, dengan uang seadanya beli dulu deh 2 butir buat pertolongan pertama dulu. Di apotek saya  sempat sebutkan merk yang dimaksud dan minta 2 aja, tanpa tanya berapa sebutirnya.

Entah bisikan dari mana, saat mbak apotek sedang menyiapkan obat, saya tanya, "ada yang generik nggak Mbak, yang lebih murah?"

Mbak yang baik hati menyebutkan beberapa merk. Berhubung saya nggak tahu harus pilih mana, kembali saya tanya harga termurah. Dan saya, yang biasanya konsumsi merk 13 ribuan sebutir, pagi tadi dengan hanya 12.800 dapat 10 butir, Wow!! Iyaaa... Ini kebiasaan saya banget kalau di apotek beli "obat warung" dengan banyak merk, saya selalu pilih yang harganya paling murah. Untungnya, pagi tadi walaupun menahan keliyengan, saya masih waras, kembali ke "kodrat" saya sebagai konsumen harga termurah haha...

Doakan segera hilang keliyengannya dan nggak kambuh-kambuh lagi ya, aamiin...

#ODOP #OODOP9 #BloggerMuslimahIndonesia

Selasa, 08 Agustus 2017

Foto SIM Kece Tanpa Jerawat

Dengan kompaknya, 2 lembar SIM yang saya miliki akan habis masanya lusa. Penggantian SIM kali ini adalah kali keempat untuk SIM C dan kali kedua untuk SIM A. Yaaaa biarpun pengemudi amatiran, saya udah 15 tahun resmi menjadi pengemudi berlisensi lho.

Menyadari pentingnya perangkat kecil ini untuk kehidupan saya sehari-hari, ditambah "ancaman" kalau sampai terlambat di-renewal maka akan diberlakukan seperti membuat SIM baru. Which is harus mengikuti ujian teori dan praktek lagi, maka saya membulatkan tekad untuk segera memperbaruinya sebelum lewat batas waktu.

So, semingguan lalu harusnya saya sudah mengurusnya. Sayang, sebelum saya pergi ke tempat perpanjangan SIM, suami saya mengirim berita seperti di sini. Katanya, blangko SIM lagi habis seantero Polda Jawa Tengah, jadi sejak akhir Juli 2017 baik SIM perpanjangan maupun baru hanya akan diberi semacam resi yang bisa ditukar SIM asli pada saat materialnya sudah tersedia. Duh, malas pula saya harus dua kali pergi-pulang ya, hehe...

Jadilah saya menunda pergi ke sana. Bukan, bukan karena material SIM yang belum siap. Karena, siap nggak siap toh saya harus punya SIM baru kan? Lalu kenapa menunda pergi ke sana? Tak lain tak bukan karena sindrom-sindrom sebelum tiba period, mulai bermunculan. Itu, jerawat mulai menemani hari-hari saya, haha...

Ngaruh ya, jerawat sama pembuatan SIM?
iiiihhh ngaruh bangeett tauu...

Yang punya SIM, pada nyadar nggak sih kalau foto di SIM itu udah dimanis-manisin tapi selalu nggak sesuai selera? Mudah-mudahan nggak cuma saya yang merasa begitu. Iya, wajah saya memang standar, tapi kalau pakai kamera lain pose manis gitu hasilnya manis juga kok. Tapi kenapa semua SIM saya, udah pakai aba-aba dan senyum manis pun, itu foto hasilnya jauh panggang dari fotografer? Padahal fotonya bakal menjadi saksi bisu alias penghuni abadi dompet saya sampai 5 tahun ke depan *emot sedih*

Maka menunda renewal SIM karena jerawat bengkak menghiasi wajah biasa saya, adalah pilihan yang harus saya ambil. Then seminggu kemudian sudah mulai kempis, saya pun memberanikan diri mendatangi tempat pengambilan gambar untuk SIM saya. Yes, pagi tadi saya ke sana. Prosesnya cepat, runut, ramah dan transparan. Sayang, kabar yang disampaikan suami saya seminggu sebelumnya benar belaka. Saya hanya dapat dua lembar (semacam) kertas resi yang berlaku sebagai SIM sementara dan bukti pengambilan SIM jadi nantinya.


Bentuknya panjang kaya kuitansi, saya potong segitu aja ya, hehe...
Pesan bapak polisi tadi, karena resi ini penting, nilainya seharga SIM asli, maka beri foto ukuran 2x3 lalu dilaminating supaya nggak cepat rusak. Jadilah sepulang dari "tempat foto", saya ke tempat foto copy-an yang bisa bantu saya edit dan cetak foto sekaligus melaminating "SIM" saya. Kira-kira hasilnya seperti foto di atas sih, wajah saya mendadak lonjong.

Ah, sudahlah...
Tak ada jerawat di foto dan wajah berubah lonjong, jelas bukan mau saya. Yang pasti saya masih penasaran dengan hasil foto di SIM saya pagi tadi. Semoga hasilnya lumayan ya. Selain sudah berkurang jerawatnya, tadi juga sudah senyum manis semanis-manisnya. Semoga 2 minggu lagi saya udah bisa pamer di sini ya foto SIM barunya.

#ODOP #ODOP8 #BloggerMuslimahIndonesia

Senin, 07 Agustus 2017

Traffic Failure: Ancaman Kesehatan Jiwa

Hari ini saya mengawali pagi dengan suasana yang nggak terlalu bagus. Sempat saya sematkan di facebook saya ini. Sepekan berjalan, proyek peningkatan jalan Gunungpati - Sampangan, Semarang, tahap yang ke sekian dimulai lagi. Artinya, penglaju macam saya akan berkawan baik dengan situasi macet selama beberapa bulan ke depan.

Macet? Sebenarnya nggak juga sih. Membangun jalan pun bergantian lajurnya, jadi kami masih bisa melintasi separuh lajur dengan cara bergantian melewatinya. Pasukan "pak ogah" pun sudah bersiap (mungkin) 24 jam untuk membantu kelancaran buka-tutup jalan selama proyek berlangsung. Lalu kenapa pagi tadi sampai macet? Jawabnya, karena para "pak ogah" itu terlambat datang ke TKP!

Hahaha... Mudah sekali menyalahkan orang lain ya?


Ada yang kenal gambar di atas? Gambar yang saya comot dari google itu adalah situasi mudik dengan macet terparah di exit tol Brebes Timur 2016 lalu. Beramai-ramai ingin "merasakan" lewat jalan tol baru, padahal infrastruktur pendukung belum sempurna, didukung belum optimalnya kesadaran berlalu lintas yang baik. Macet berhari-hari di jalan tol sampai langkanya BBM di wilayah Tegal-Brebes dan sekitarnya, belum bisa saya lupakan sepenuhnya.

Pernah menemui postingan seseorang yang mengunggah video situasi lalu lintas di India? Ah, kemacetan Brexit belum seberapa dibanding kemacetan setiap hari di sebuah kota di India itu. Jakarta pun yang sudah menjadi langganan macet, masih kalah semrawut. Bandung yang belakangan (pernah) jadi jawara kota tersering macet, belum bisa menggambarkan semrawutnya kendaraan seperti dalam video ini.

Di Semarang, Jakarta, Bandung, India, atau di mana pun macet kita temui, kebanyakan faktor pencetusnya adalah pengguna jalan itu sendiri. Yes, saat kesadaran berlalu lintas dengan tertib dan baik belum bisa difahami apalagi diaplikasikan, macet yang seharusnya tak seberapa, akan menjadi macet yang sangat parah. Saat semua orang memosisikan diri pada situasi "harus segera sampai, takut terlambat", maka yang terjadi adalah semua orang akan terus melajukan kendaraannya merangsek ke depan. Yang tadinya hanya tersendat, pelan-pelan jalannya, tak butuh waktu lama akan mandeg semua kendaraan, tak mampu bergerak ke mana pun.

Simpel ya...
Sadari bahwa setiap orang punya hak yang sama di jalan. Bahwa setiap orang berada dalam kondisi yang sama dengan kita, ingin segera sampai ke tujuan dengan selamat. Dengan berhenti sejenak, bukan hanya memberi kesempatan kendaraan lain bergerak dan mengurai macet, namun juga memberi jeda pada kita untuk rileks barang sebentar. Perlu lho, tangan, kaki, juga pikiran yang mulai ikut semrawut, dilegakan sedikit dengan sekadar menarik nafas panjang beberapa kali. Yakin kok, kalau sudah terbiasa, "intuisi" kita bekerja otomatis kapan kita jalan, kapan berhenti memberi jeda.

Nah, PR banget untuk menyinkronan "intuisi" dengan orang di sekitar. Sering nih, saya melihat dari jauh, ada orang yang sedang bersiap menyeberang. Saya kebetulan membaca situasinya memungkinkan kok kalau saya mengurangi kecepatan dan memberi kesempatan dia untuk menyeberang. Lah giliran saya sudah semakin dekat bahkan hampir berhenti, orang tersebut nggak kunjung menyeberang. Rupanya ada kendaraan lain di belakang saya yang masih berjalan dengan kecepatan penuh mendahuli saya.

Waduh, belum kompak nih kita...
Ngeselin kan?

#ODOP #ODOP7 #BloggerMuslimahIndonesia





Minggu, 06 Agustus 2017

Ironi Membakar Sampah di Halaman Rumah Sendiri

Lulus SMA saya boyongan ke Semarang. Layaknya "tradisi" lulusan SMA dari daerah, kami pergi ke kota besar, mengikuti bimbingan belajar intensif supaya bisa lulus UMPTN. Pun itu yang saya lakukan, tak kalah dengan teman lainnya. Semarang menjadi satu-satunya pilihan karena ada Om di sana. Jelas, Bapak saya belum bisa melepas saya sepenuh hati, haha...

Bulan Juli kalau nggak salah ingat, tepatnya 4 Juli. Dan yang saya rasakan, suhu udara di Semarang sangat ekstrim. Saat mulai malam hingga pagi udaranya dingin, puncaknya saat dini hari sampai fajar. Dingin menggigit sampai kadang saya menggigil. Sedang siang hari, panas menyengat sampai kadang lemas kalau terlalu banyak aktifitas di luar.

Iya, sekitar Juli dan Agustus adalah (biasanya) puncak waktu kemarau. Tapi entah kenapa saya baru merasakan kondisi kemarau dengan perbedaan suhu ekstrim setelah di Semarang. Saat masih tinggal di Slawi, Tegal, saya nggak begitu ngeh dengan kondisi tersebut. Padahal letak Slawi ada di tengah-tengah, tak terlalu ke pesisir, tidak pula terlalu dekat ke dataran tinggi.

Hal sama terus saya rasakan sampai sekarang saat saya pun sudah menetap di kota ini. Musim kemarau, banyak angin, debu dan daun-daun gugur bikin kotor jalanan atau halaman rumah. Harus rajin-rajin menyapu atau membersihkan halaman rumah dari daun-daun kering. Atau kalau tidak, saat musim hujan tiba, daun-daun yang menumpuk akan menyumbat saluran air dan menimbulkan masalah baru, genangan!

Oiya, saya tinggal agak jauh dari pusat kota, sedikit ke arah atas bagian Barat-Selatan kota Semarang, tepatnya di sini. Kalau pernah tahu kampus Unnes, nah rumah saya di dekat situ. Daerah (lumayan) atas, sejuk, tidak terlalu bising dengan hiruk pikuk kesibukan kota besar. Masih asri, banyak pohon dan masih sangat menyatu dengan suasana pedesaan. Ya, masih kami temui rumah yang dari pawonnya mengepulkan asap penggugah lapar di pagi hari. Kandang sapi, kambing, bahkan sawah dan sungai kecil masih ada lho di dekat sini.

Biarpun banyak perumahan dengan tipe rumah sederhana, masih banyak rumah penduduk asli dengan halaman luas dan pohon rindang melingkupinya. Kebiasaan orang sejak dulu sih, kalau halaman penuh sampah daun maka akan disapu pagi dan sore (rajin banget ya, saya dulu sering bantu Simbah saya juga), sampahnya dikumpulkan di pojok halaman lalu dibakar. Well, saat saya sudah "berumur", saya kok jadi lebih berisik ya. Dulu bantu Simbah sampai bakar-bakar biasa saja, sekarang lihat asap dimana-mana kok baper?

Entahlah, pikiran saya saat ini simpel saja. Lepas dari "dosa" saya di masa lalu, saat ini saya merasa membakar sampah sama sekali bukan solusi menjaga kebersihan lingkungan. Iya, halamannya jadi rapi, bersih, bebas sampah daun. Iya, kita sudah menyicil "jaga-jaga" saat musim hujan tiba, tak ada sampah daun yang menyumpal dan berpotensi timbul genangan. Tapi, dengan membakarnya, bukankah artinya halaman rumah sendiri tampak bersih tapi halaman rumah berpuluh tetangganya menjadi kotor? Yes, kotor karena asap dong.

Maka saya pernah sampaikan ke teman saya, bahwa "membakar sampah di halaman rumah sendiri adalah kejahatan lingkungan". Dan teman saya hanya tersenyum, mungkin dia perfikir saya seperti "aktifis lingkungan" yang sedang bermimpi. Pun saya, akhirnya hanya bisa "memaklumi" sambil berdoa semoga setiap dari kita diberi pemahaman yang sama tentang arti menjaga kebersihan lingkungan.

#ODOP #ODOP6 #BloggerMuslimahIndonesia

Sabtu, 05 Agustus 2017

Biar Kekinian, Foto di Hutan Mangrove

Sudah hampir 20 tahun saya tinggal d Semarang, kota besar yang nggak begitu metropolitan. Saya justru merasa Semarang terlalu woles pertumbuhannya. Tapi rupanya beberapa tahun belakangan ini, kota tempat saya tinggal mulai menggeliat. Kalau dulu saya hanya menemukan 3-4 hotel "terkenal", sekarang mudah saja menemukan hotel dari kelas homestay sampai bintang 5. Gedung-gedung tinggi bermunculan, jalanan ditata dan tentu saja tujuan wisata pun dibenahi.

Ya, sebagai ibu kota provinsi, Semarang sangat layak menjadi destinasi liburan kita. Nggak bingung lagi kalau ditanya, "Semarang jalan-jalannya ke mana ya?". Selain Lawang Sewu, Masjis Agung Jawa Tengah serta Sam Po Kong yang sudah ngehits duluan, ada juga Masjid Kapal, Kampung Pelangi (ah, suatu saat saya ke sana dan menuliskannya di sini), ada juga wisata hutan bakau yang sudah dibenahi dengan sangat cantik.

Sebagai kota pesisir, pantai tentu menjadi lansekap wajib di Semarang. Saat itu, abrasi di daerah pesisir Semarang memang sudah dalam taraf memprihatinkan. Wisata pantainya kotor dan sangat biasa. Untuk mendapatkan spot pantai yang lumayan, kami musti sedikit bergeser ke arah Barat di kabupaten Kendal atau sekalian jalan-jalan ke Jepara. Pun ditemukan pantai "virgin", tak lama kemudian nasibnya akan sama dengan pantai-pantai yang sudah beken duluan.

Hal yang menggembirakan tentunya, saat kemudian pemerintah daerah membenahi pantainya dengan cara yang sedikit berbeda. Menyelamatkan garis pantai yang terancam abrasi sekaligus menciptakan wisata baru, wisata hutan bakau/mangrove. Seingat saya, sejak awal tahun 2000-an, saya sudah ikut (ikutan) program kampanye penanaman mangrove. Tak disangka, hasilnya bisa dinikmati sekarang.


Seingat saya (kalau salah bantu koreksi ya), ada tiga lokasi hutan mangrove di Semarang. Di bagian barat Semarang ada di daerah sekitar Tugurejo di sini. Suatu hari saya harus ke sana juga. Selain menikmati hutannya yang adem, pemandangan pesawat yang hilir mudik dengan sangat dekat tentu juga menjadi nilai tambahnya.

Di bagian timur Semarang pun ada, dekat daerah Sayung dan sudah masuk wilayah kabupaten Demak di sini. Tampaknya lebih besar dan lebih menyenangkan untuk dikunjungi. Tak terlalu jauh dari Semarang, sekitar satu jam perjalanan melalui jalur pantura. Semoga jalannya tidak terlalu padat dengan bonus macet ya, hehe...


Nah, hutan mangrove yang berada di kota Semarang itu sendiri adalah hutan mangrove di Taman Maerokoco. Wisata Taman Maerokoco sendiri sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan saya SD sudah pernah liburan ke sana. Baru-baru ini, mereka berbenah menarik minat wisatawan untuk mengunjungi miniatur Jawa Tengah, salah satunya dengan membangun lansekap cozy di dalam sana.

Dengan mengintegrasikan wisata budaya dan bahari, tiket masuk yang murah (hanya bayar parkir kendaraan saja), hutan mangrove menjadi magnet utama kunjungan wisata ke Taman Maerokoco. Beberapa anjungan memang masih dalam proses renovasi, tapi berswafoto sambil selonjoran di sepanjang jembatan, terbayar semua gerah dan panas udara pantainya.

Pokoknya, berkunjunglah ke Semarang dan jalan-jalanlah "berkeliling Jawa Tengah" sambil tak lupa mengabadikan hutan mangrovenya di sini.

#ODOP #ODOP5 #BloggerMuslimahIndonesia

Jumat, 04 Agustus 2017

Saat Seseorang Wafat: Pengingat Diri

Pagi ini dikejutkan oleh berita duka, wafatnya dr. Ryan Thamrin. Rasanya tak ada yang tak kenal beliau ya. Seorang dokter yang juga host tampan berusia 39 tahun. Selalu hadir dengan update ilmu kesehatan dan tips-tips kesehatan yang simpel serta mudah dipahami lewat "brand" Dr. Oz Indonesia. Lini massa sontak ramai dengan ungkapan duka dan rasa kehilangan yang sangat. Innalillahi wainnailaihi rajiun, segala yang fana hanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Lalu apa sebenarnya penyebab kematian yang mendadak di usia muda? Well, saya nggak akan bahas ini ah. Tentunya banyak faktor yang berpengaruh. Nggak perlu bertanya-tanya, "dia kan dokter, ternyata bisa juga sakit dan wafat di usia muda ya?"

Kematian adalah pasti, kapan pun ia menjemput, kita tak bisa menundanya. Duh, merinding deh nulis ini...

Karena selalu, setiap mendengar kabar seseorang wafat, baik yang memang sudah "berumur" apalagi masih muda, pertanyaan itu yang terlintas terlebih dahulu. Saya kapan? Siapkah? Sudah bawa bekal yang pantas saat dijemput? Hwaaa... Pengin mewek dweehhh...

Dokter Ryan sih bukan siapa-siapa saya. Orang-orang yang tinggal dekat dengan kehidupan saya pun banyak yang wafat di usia muda. Ada yang sakit, dirawat beberapa saat saja di rumah sakit, lalu wafat. Ada yang sakit dan berjuang bertahun lamanya akhirnya menyerah pada takdir. Ada pula yang nggak sakit, tiba-tiba saja hanya merasa masuk angin dan selang beberapa jam ajal menjemput. Bahkan ada yang dijemput lewat jalan kecelakaan.

So, ajal punya caranya sendiri saat ia datang. Tak ada yang tahu, tak pula ia membisikkan kabar sebelumnya. Kalau buat diri saya sendiri, tentu seperti pertanyaan di atas. Pantaskah saya dengan bekal yang ada, menghadap-Nya saat dipanggil? Cukupkah bekal yang sempat saya titpkan pada anak-anak untuk melanjutkan hidup sebagai manusia mulia? - hiks, pedes bener ini mata-

Yang jelas, PR besar buat saya untuk selalu melakukan ikhtiar terbaik. Hidup sehat untuk saya, anak-anak dan keluarga saya. Membiasakannya nggak mudah lho, apalagi buat dua anak picky eater macam anak-anak saya itu. Nggak lelah juga selalu mengingatkan suami untuk makan dan hidup sehat.

Semoga kita dan anak keturunan kita digolongkan ke dalam golongan manusia yang salih. Yang senantiasa dalam kasih sayang-Nya hingga Ia mewafatkan kita dalam keadaan sebaik-baik makhluk. Aamiin Ya Rabbal 'Alamiin...

#ODOP #ODOP4 #BloggerMuslimahIndonesia

Kamis, 03 Agustus 2017

Bahtera Nabi Nuh di Semarang

Sirah Nabi siapa yang bercerita tentang bahtera? Aih, apa pula bahtera? Kalau diganti dengan kapal, pasti banyak yang tahu. Iya, cerita Nabi Nuh AS sudah lekat di luar kepala tentang penciptaan kapal penyelamat umatnya yang taat. Saat saya kecil, paling senang dibacakan sirah Nabi, salah satunya Nabi Nuh AS ini.

Nah, beberapa bulan ini di Semarang sedang ramai seru tentang Masjid Kapal yang konon adalah "replika" kapal Nabi Nuh AS. Benarkah? Biarpun hanya replika, tak mengurangi rasa penasaran saya. Apalagi bangunan masjid dengan design mirip kapal tentu bukan masjid biasa. Dari foto yang saya lihat di internet, masjid ini memang tak berkubah, benar berbentuk kapal.


Setelah beberapa kali berrencana mengunjunginya dan gagal dengan berbagai alasan, lepas lebaran lalu Alhamdulillah bisa berkunjung ke sana. Kebetulan waktu itu hari Minggu, hari terakhir libur sekolah pula, jadi tempatnya sama sekali tidak tampak sebagai tempat ibadah. Lebih seperti tempat ziarah wali di Jawa. Yang pernah ziarah wali tentu faham bagaimana penampakannya.

Bangunan tiga lantai ini sejatinya memang akan digunakan untuk kegiatan masyarakat sekitar secara gratis. Lantai satu untuk ruang pertemuan semacam hajatan, resepsi pernikahan dll. Lantai dua untuk masjid dan lantai tiga untuk aktifitas belajar serta kantor. Nah, kalau kita naik sampai ke roof top-nya, akan didapati pemandangan yang menyejukkan mata dan hati.

Penasaran ingin berkunjung ke masjid tersebut, bisa diikuti rutenya di sini. Hanya sekitar 15 km dari Bandara Ahmad Yani Semarang kok. Sedikit saran, kalau pergi ke sana sebaiknya tidak di akhir pekan karena dipastikan akan ramai tempatnya dan sulit mendapatkan spot cantik untuk berswafoto. Apalagi jalan perkampungan yang sempit akan menyulitkan kita saat berkendara ke sana.

Tunggu apa lagi? Masukkan Masjid Kapal ini sebagai destinasi jalan-jalan selanjutnya ya.

#ODOP #ODOP3 #BloggerMuslimahIndonesia

Rabu, 02 Agustus 2017

Mengiyakan Bulan Kampanye Imunisasi 2017

Seorang kawan di sebuah grup percakapan bertanya mengenai esensi Bulan Kampanye Imunisasi oleh pemerintah. Memang sudah sejak beberapa bulan belakangan dengan mudah kita temui poster-poster kampanye di berbagai lini media. Selama dua bulan, Agustus dan September 2017 ini, imunisasinya akan dilaksanakan serentak.

Mengenai imunisasi apa, kapan dan bagaimana kita mengaksesnya, ada penjelasannya di sini. Nah, kembali ke pertanyaan kawan tadi, apa esensi dari pelaksanaan bulan imunisasi ini? Apakah pemerintah sudah melakukan tindakan preventif sebelumnya, kok kesannya diwajibkan mengikuti imunisasi yang ini. Lalu, seberapa menakutkan dampaknya kalau nggak diimunisasi?

Well, saya mencoba "membaca" dengan kaca mata awam saya. Sekadar flashback, saat saya kecil juga ada lho program semacam ini dari pemerintah. Ingat kan, kalau dulu ada Pekan Imunisasi Nasional (PIN)? Saya tahu, pun pernah dengar, tapi nggak ngerti apa dan bagaimana program itu berjalan. Intinya, pemerintah dari waktu ke waktu sudah melakukan tindakan preventif kok untuk mereduksi dampak dari penyebaran penyakit. Salah satunya dengan program imunisasi massal.

Saya pun ingat, saat SD pernah dua kali mendapatkan imunisasi di sekolah dan sekali pemeriksaan gigi. Imunisasi yang saya dapat saat kelas 1 dan 6 SD saat itu dikenal dengan program "cacar". Saat sudah dicacar, apakah kita akan begitu saja terbebas dari penyakit cacar? Tentu tidak. Nyatanya saya dan beberapa teman saya kena infeksi cacar saat SD juga. Tapi, kalau sudah pernah diberi imuniasi cacar, dampak dari infeksi sekunder bisa dikurangi. Yaaa nggak parah-parah amat lah sakitnya.

Lalu apakah ini wajib? Hmm... Saya sih kembali ke keputusan tiap orang tua. Ada nilai yang nggak sama dalam tiap keluarga. Setiap tindakan medis diperlukan persetujuan. Bulan imunisasi yang menggandeng sekolah-sekolah ini, saya rasa akan difokuskan untuk dilaksanakan di sekolah kecuali untuk anak usia pra sekolah. Pihak sekolah tentu akan memberikan formulir persetujuan terlebih dahulu. Kalau orang tua tak setuju, tentu tak akan diberikan imunisasi tersebut.

Yang jelas, ini bukan program baru ya, teman. Program ini serupa dengan program-program sebelumnya, hanya diberi modifikasi "judul program" saja. Anggap saja ini salah satu peran pemerintah "membekali" generasinya lebih siap hidup sehat. So, apakah saya akan mengimunisasikan anak-anak saya? Haha... Masih merayu ka Rafa dan de Tazya, karena rupanya momok banget deh dengar kata "jarum suntik".

#ODOP #ODOP2 #BloggerMuslimahIndonesia

Selasa, 01 Agustus 2017

Demi Kesehatan Jiwa, Menulislah di ODOP

Nulis dan menulis bukan hal baru bagi saya. Jamak sekali, saat kecil bekal menulis saya adalah buku diary. Yes, diary ala anak-anak SD. Bahkan sampai SMP saya masih suka nulis note-note kecil tentang keseharian saya. Nggak banyak yang saya ingat karena 2 buku diary saya sekarang entah ke mana. Maklum, nulis diary juga ikut-ikutan teman, jadi bukan salah orang tua saya kalau nggak memfasilitasi "hobi" saya hehe...

Officially saya mulai nulis lagi saat kuliah. Nah, kali ini nulis pakai fasilitas alias nulis beneran pakai komputer dan ada ilmu nulisnya. Belajar menulis di UKM Pers Kampus, sesekali ikut pelatihan dan pengayaan di luar kampus. Beberapa artikel yang saya tulis pernah dimuat di koran setempat. Senang? Iya dong, kan ada uangnya.

Pada waktu saya mengenal internet, seperti teman-teman yang suka menulis, saya pun ikut membuat blog pribadi. Rajin banget nulis di blog, tapi waktu itu saja. Saat masih hangat-hangatnya. Yang ditulis juga persis diary saya dulu, keseharian saya saja. Hingga akhirnya bosan main blog dan lupa atau tepatnya melupakan pernah punya blog. Blog saya yang ini adalah blog ketiga saya, setelah dua blog sebelumnya saya lupa email apa yang digunakan untuk login, hahaha... 

Blog ini pun setali tiga uang, banyak dianggurinnya. Niat selalu ada untuk bisa posting minimal satu tulisan sehari, sekadar mengasah kemampuan menulis saya saja. Apa daya, malas lebih mendominasi. Apalagi sekarang ini banyak pilihan sosial media yang memfasilitasi saya untuk menulis singkat, sesaat, to the point. Ya, mini blogging semacam membuat status di facebook, twitter atau path lebih menarik buat saya.

Alhamdulillah Blogger Muslimah memfasilitasi orang yang malas ngeblog seperti saya ini dengan membuat challenge One Day One Post di blog pribadi. Yes, begitu baca tantangannya, saya menyiapkan diri untuk "patuh" pada aturan mainnya. Saya bisikkan setiap hari, "come on Pipiet, you can sit nicely to create only one post a day!"

Bismillah, semua ini bukan untuk hadiah yang dijanjikan pada challenge ini. Semua saya lakukan supaya saya punya habbit baru, MENULIS. 
Since, saya menyadari bahwa menulis bisa menyehatkan jiwa saya, yes...saya harus menulis. Menulis apa saja seperti saat saya menulis diary belasan tahun lalu. Tanpa beban, tanpa mengharapkan apa pun, just write down. Dan itu melegakan lho...

Start today, challenge-nya bakal ada sepanjang Agustus 2018.
Oiya, saya juga sedang menyiapkan gift buat diri saya sendiri di bulan kelahiran saya ini. Kalau saya selesaikan challenge-nya, itu cukup sudah sebagai hadiah terbaik di ulang tahun saya tahun ini.

#ODOP #BloggerMuslimahIndonesia


Kamis, 11 Mei 2017

Harus ESSE Supaya Tertular HIV

Sedang ramai nih, broadcast message mengenai penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh "oknum dokter" dengan berpura-pura melakukan cek gula darah dari rumah ke rumah. Beberapa saat sebelumnya beredar juga pesan yang sama, tetapi modusnya dengan meninggalkan jarum suntik atau tusuk gigi yang terpapar HIV di dalam bioskop. Ramai, resah, takut, timbul curiga terhadap orang asing di sekitar.

Sesungguhnya apa dan bagaimana HIV/AIDS itu sih, Mak? Kenapa harus dihindari dan bagaimana menghindarinya? Dibahas sedikit, yuk, biar tidak terlalu "parno".


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Sedangkan AIDS kependekan dari Acquaired Immunodeficiency Syndrome, atau sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun akibat paparan virus HIV. Jadi, HIV dan AIDS itu dua hal yang berbeda. HIV adalah nama virusnya, AIDS adalah "akibat" yang ditimbulkan karena virus telah membuat tubuh lebih lemah dan rapuh pertahanannya.

Virus yang menyerang kekebalan tubuh ini membuat penyakit mudah masuk dan betah berlama-lama dalam tubuh. Misalnya, orang yang sudah terinfeksi lalu sakit batuk, batuknya butuh waktu lama untuk sembuh. Atau hanya salah makan dan timbul diare, diarenya akan "betah" berlama-lama. Sayangnya, orang dengan kekebalan tubuh yang rapuh biasanya akan "diserang" beberapa penyakit sekaligus. Ditambah lagi, secara psikis terbebani dengan stigma negatif penderita HIV, membuat daya tahan tubuh menjadi semakin turun.

Sesuai namanya, HUMAN, virus ini hanya bisa hidup di dalam tubuh manusia. Konsentrasi terbanyaknya terdapat pada darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan syarat penularannya harus memenuhi 4 prinsip penularan yaitu prinsip ESSE (Exit, Survive, Sufficient, Enter). 

Exit artinya harus ada virus yang keluar dari dalam tubuh baik melalui hubungan seksual, transfusi darah atau proses menyusui. Survive berarti virusnya harus bisa bertahan hidup di luar tubuh pada saat menginfeksi orang lain. Kondisi di luar tubuh dan di dalam tubuh jelas berbeda, maka virus HIV hanya mampu bertahan beberapa menit saja di suhu ruang.

Prinsip berikutnya adalah sufficient, artinya jumlah virus harus cukup untuk menginfeksi. Nah, hal ini berhubungan dengan isu penularan lewat jarum suntik bekas atau tusuk gigi di bioskop. Setelah jarum terpapar virus, diletakkan dalam bioskop, berapa lama virus bisa bertahan di luar tubuh? Berapa banyak virus di sana, sehingga ia mampu menginfeksi orang lain? 

Dan yang terakhir adalah enter, yaitu virus dapat masuk ke dalam tubuh. Bisa melalui aliran darah karena adanya luka, transfusi darah atau jarum suntik tidak steril yang menembus kulit. Bisa juga melalui ASI, proses persalinan, serta hubungan seksual yang tidak aman.

Jadi, Emak tak perlu was-was, karena 4 syarat penularan itu tidak berdiri sendiri. Keempatnya harus terpenuhi secara bersamaan hingga bisa terjadi penularan. Waspada tetap yang utama, tetapi mudah panik tidaklah bijak. Cari tahu dari sumber terpercaya sebelum ikut menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya. Stay aware dan smart ya, Mak. (Pipiet Abrori)