Kamis, 11 Mei 2017

Menanti Manisnya Gula Dari Pengantin Tebu

Sejarah penjajahan di Indonesia tak lepas dari penguasaan hasil bumi yang merupakan kekayaan bangsa ini sejak dulu kala. Salah satunya adalah perkebunan tebu, yang merupakan bahan dasar dari komoditi gula. Sejak sekitar abad ke-17, melaui politik tanam paksanya, Indonesia sudah menjadi pemasok utama gula ke negeri-negeri seberang. Namun sekarang, puluhan pabrik gula yang dahulu pernah dalam masa kejayaan, hanya tersisa beberapa saja. Sejak 10 atau 15 tahun yang lalu, pabrik yang ada pun tampak seperti mati suri, kebanyakan merugi dibanding menguntungkan.

Salah satu pabrik gula yang tersisa di Tegal adalah Pabrik Gula (PG) Pangka (Pangkah). Ada satu tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang menjelang proses produksi gula dimulai. Oiya, produksi gula hanya dilakukan selama kurang lebih 4 bulan saja dalam setahun. Dan setiap tahunnya, musim giling (istilah untuk produksi gula) selalu menjadi saat yang istimewa. Sekitar 2 minggu sebelum pelaksanaan giling, akan diadakan (semacam) pasar malam di daerah sekitar pabrik gula, yang dikenal dengan nama METIKAN. Metikan berasal dari kata metik/petik yang artinya kurang lebih adalah panen. Panen tebu yang merupakan bahan utama pembuatan gula.

Sama seperti pasar malam yang sering Emak lihat di sekitar tempat tinggal Emak. Booth-booth pedagang berjajar, mulai dari pakaian, sepatu, sandal, makanan, sampai sekadar jual mainan anak. ada pula area permainannya, seperti komidi putar, bianglala, kereta-keretaan dan beberapa mainan khas pasar malam. Hiburan setahun sekali ini tentu sangat dinanti oleh masyarakat setempat. Selain mendapat hiburan, mereka juga sedang mencurahkan rasa syukur karena adanya musim giling berarti akan ada "pekerjaan" baru buat mereka.


Metikan akan diakhiri dengan "hajatan Pengantin Tebu", yaitu sebuah simbol perkawinan antara 2 pabrik gula. Kalau di daerah Tegal berarti "perkawinan" antara pabrik gula Jatibarang di Kabupaten Brebes dan pabrik gula Pangkah itu sendiri. Pengantin tebu disimbolkan dengan sepasang boneka berbusana pengantin pria dan wanita. Sang pria diberi nama Bagus Bimo Prakoso Hasto, yang berasal dari Jatibarang. Sedang pengantin wanita berasal dari Pangkah diberi nama Roro Sayekti Ngudi Utami. Pengantin tersebut akan diarak mengelilingi pabrik dengan diiringi musik tradisional setempat.

Setelah diarak, boneka pengantin akan dibawa masuk ke area pabrik dan keduanya dimasukkan ke dalam mesin penggilingan tebu. Disusul dengan 12 batang tebu yang berasal dari perkebunan tebu di Jatibarang dan Pangkah. Nah, proses inilah yang menandai bahwa musim giling (produksi gula) sudah dimulai. Diiringi doa dan harapan semoga produksi gula tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Sehingga kebutuhan gula di Indonesia dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sendiri.

Sejalan dengan berkurangnya jumlah pabrik gula di Indonesia, tradisi semacam ini mulai ditingaalkan. Rasanya tak terlalu berlebihan kalau tradisinya terus dipertahankan, setidaknya pada pabrik gula yang masih beroperasi ini. Selain dapat mewujudkan kemandirian produksi gula, juga ikut menjaga kearifan lokal. Metikan dan pengantin tebu mungkin akan sulit ditemui pada tahun-tahun mendatang. Semoga pabrik gula menggeliat bangkit dan tradisi begini akan terus ditemui sampai anak cucu nanti. (Pipiet Abrori)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar