Jumat, 08 Januari 2010

Andai Kubisa Berlari

Awalnya, takut...deg degan….sungguh, bingung kalau ada panggilan konsultasi untuk klien KTD remaja.

Semakin saya sering bertemu dengan mereka, semakin saya berpikir remaja KTD biasa aja. Semakin saya merasa, kalau mereka datang dan saya dengarkan curhat mereka adalah pekerjaan saya sehari hari.
Semakin pula saya terbiasa dengan isak tangis, ungkapan penyesalan, kalimat keputus asaan, amarah, kebencian, bahkan wajah wajah kelu yang (seolah) kehilangan masa depannya. Sungguh...

Tapi, lubuk hati saya terdalam seringkali bertanya, saya udah resisten (kebal) atau sekadar terbiasa aja dengan kondisi ini ya...

Kurang lebih setahun yang lalu, datang seorang remaja lengkap dengan ayah ibunya. Saya baca di lembar CM nya, alamatnya sangat saya kenal, tapi saya nggak kenal dia, pun ayah ibunya. Ah, sudahlah...walaupun "tetangga" anggap aja nggak tau. Bismillah, saya pun mulai konsultasinya.

Hmmm... ternyata saya memang nggak kenal dia dan saya nggak pengen tahu siapa dia, kecuali alasan kedatangannya ke klinik dan hal hal yang berhubungan dengan kehamilannya. Sampai selesai, ayah ibunya "ngotot" membuang janinnya dan jawaban saya sama, saya nggak bisa bantu. Saya cuma bisa sarankan dia untuk tinggal di PIA/shelter sampai bayinya lahir.

Dan karena "ngotot", mereka pun pulang. Nggak lupa saya tinggalkan nomor hape saya, kalau sewaktu waktu mereka berubah pikiran.

Benar, 2 hari kemudian ayahnya telepon saya dan memutuskan utuk tinggal di PIA. Di hari yang dijanjikan, kami pun bertemu untuk mengantar si anak ke PIA. Waktu di PIA itulah, sambil nunggu suster urus administrasi "penitipannya" kami berbincang dan dari mulut beliau sendiri saya jadi tahu siapa beliau. Sungguh saya nggak bertanya apapun tentang siapa beliau sesungguhnya.
Dan saya sadar betul ketika beliau pun lalu tahu asal saya dari mana. Bagaimana khawatirnya beliau karena bertemu dengan "tetangga" dalam keadaan begini, karena masa kecil saya dulu, saya habiskan di tempat dimana mereka tinggal sekarang...

Setahun kemudian, kemarin sore, saya alami hal yang serupa. Kali ini bukan "tetangga" sih. Kali ini dia juga bukan klien saya, saya cuma kebagian tugas untuk mengantar yang bersangkutan ke PIA. Kali ini, yang bersangkutan adalah orang orang yang adik saya kenal persis dengannya...
Itupun saya tahu secara nggak sengaja. Lagi, sembari menanti suster beresin administrasi "penitipannya", kami pun berbincang. Dan, saya pun paham mengapa harus secepat ini masuk PIA, saat kehamilannya belum juga genap 16 minggu. Oke lah Pak kalo begitu, hehe...

Jujur, yang saya rasakan sekarang berbeda lagi.
Awalnya takut, lalu saya merasa saya mulai terbiasa bahkan cenderung kebal dengan itu semua, sekarang saya rasakan sedih betul. Sungguh, sedih. Atau mungkin tepatnya kembali ke perasaan awal, takut_cemas.

Saya merasa satu per satu orang orang dekat saya mulai ”bermunculan”. Dan saya sama sekali belum siap seandainya yang datang benar benar mereka yang ada ”di hati” saya. Entah saya bakal ngomong apa kalau itu benar benar terjadi *huh! Naudzubillah*

Belum bisa menyimpulkan apapun. Cuma keprihatinan saya aja yang baru bisa saya sampaikan. Sejauh ini, saya coba lakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan. Terutama untuk anak anak saya dan saudara saudara saya yang selalu ada di hati.

Kangen banget teman teman yang udah menemani saya lewati masa remaja saya dengan sangat indah.
Rindu sangat teman teman saya, berbincang banyak ”hal nggak penting” dari pagi hingga pagi lagi.
Ingin banget ketemu kalian semua, berbagi lagi, berkisah lagi...tertawa, berlari, tersedu...daaann... b e r p e l u k a a a a a a n, hehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar