Minggu, 06 Agustus 2017

Ironi Membakar Sampah di Halaman Rumah Sendiri

Lulus SMA saya boyongan ke Semarang. Layaknya "tradisi" lulusan SMA dari daerah, kami pergi ke kota besar, mengikuti bimbingan belajar intensif supaya bisa lulus UMPTN. Pun itu yang saya lakukan, tak kalah dengan teman lainnya. Semarang menjadi satu-satunya pilihan karena ada Om di sana. Jelas, Bapak saya belum bisa melepas saya sepenuh hati, haha...

Bulan Juli kalau nggak salah ingat, tepatnya 4 Juli. Dan yang saya rasakan, suhu udara di Semarang sangat ekstrim. Saat mulai malam hingga pagi udaranya dingin, puncaknya saat dini hari sampai fajar. Dingin menggigit sampai kadang saya menggigil. Sedang siang hari, panas menyengat sampai kadang lemas kalau terlalu banyak aktifitas di luar.

Iya, sekitar Juli dan Agustus adalah (biasanya) puncak waktu kemarau. Tapi entah kenapa saya baru merasakan kondisi kemarau dengan perbedaan suhu ekstrim setelah di Semarang. Saat masih tinggal di Slawi, Tegal, saya nggak begitu ngeh dengan kondisi tersebut. Padahal letak Slawi ada di tengah-tengah, tak terlalu ke pesisir, tidak pula terlalu dekat ke dataran tinggi.

Hal sama terus saya rasakan sampai sekarang saat saya pun sudah menetap di kota ini. Musim kemarau, banyak angin, debu dan daun-daun gugur bikin kotor jalanan atau halaman rumah. Harus rajin-rajin menyapu atau membersihkan halaman rumah dari daun-daun kering. Atau kalau tidak, saat musim hujan tiba, daun-daun yang menumpuk akan menyumbat saluran air dan menimbulkan masalah baru, genangan!

Oiya, saya tinggal agak jauh dari pusat kota, sedikit ke arah atas bagian Barat-Selatan kota Semarang, tepatnya di sini. Kalau pernah tahu kampus Unnes, nah rumah saya di dekat situ. Daerah (lumayan) atas, sejuk, tidak terlalu bising dengan hiruk pikuk kesibukan kota besar. Masih asri, banyak pohon dan masih sangat menyatu dengan suasana pedesaan. Ya, masih kami temui rumah yang dari pawonnya mengepulkan asap penggugah lapar di pagi hari. Kandang sapi, kambing, bahkan sawah dan sungai kecil masih ada lho di dekat sini.

Biarpun banyak perumahan dengan tipe rumah sederhana, masih banyak rumah penduduk asli dengan halaman luas dan pohon rindang melingkupinya. Kebiasaan orang sejak dulu sih, kalau halaman penuh sampah daun maka akan disapu pagi dan sore (rajin banget ya, saya dulu sering bantu Simbah saya juga), sampahnya dikumpulkan di pojok halaman lalu dibakar. Well, saat saya sudah "berumur", saya kok jadi lebih berisik ya. Dulu bantu Simbah sampai bakar-bakar biasa saja, sekarang lihat asap dimana-mana kok baper?

Entahlah, pikiran saya saat ini simpel saja. Lepas dari "dosa" saya di masa lalu, saat ini saya merasa membakar sampah sama sekali bukan solusi menjaga kebersihan lingkungan. Iya, halamannya jadi rapi, bersih, bebas sampah daun. Iya, kita sudah menyicil "jaga-jaga" saat musim hujan tiba, tak ada sampah daun yang menyumpal dan berpotensi timbul genangan. Tapi, dengan membakarnya, bukankah artinya halaman rumah sendiri tampak bersih tapi halaman rumah berpuluh tetangganya menjadi kotor? Yes, kotor karena asap dong.

Maka saya pernah sampaikan ke teman saya, bahwa "membakar sampah di halaman rumah sendiri adalah kejahatan lingkungan". Dan teman saya hanya tersenyum, mungkin dia perfikir saya seperti "aktifis lingkungan" yang sedang bermimpi. Pun saya, akhirnya hanya bisa "memaklumi" sambil berdoa semoga setiap dari kita diberi pemahaman yang sama tentang arti menjaga kebersihan lingkungan.

#ODOP #ODOP6 #BloggerMuslimahIndonesia

2 komentar:

  1. Nah, kalau kami di kalimantan ada yang namanya musim asap, Mbak. Biasanya di musim kemarau, banyak perusahaan yang bakar-bakar mengatasnamakan warga lokal demi membuka lahan dengan biaya murah meriah. Duh, kalo udah gitu penyakit saluran pernafasan pun tersebar rata.. Yang berperan memperbaikinya pastinya bukan cuma aktivis lingkungan ya, Mbak? Kita sebagai individu, kelompok-kelompok hingga negara perlu bahu-membahu... ;)

    BalasHapus
  2. Aisyah juga tidak suka bakar-bakar sampah kak, asapnya menyesakkan.. :'(

    BalasHapus