Senin, 07 Agustus 2017

Traffic Failure: Ancaman Kesehatan Jiwa

Hari ini saya mengawali pagi dengan suasana yang nggak terlalu bagus. Sempat saya sematkan di facebook saya ini. Sepekan berjalan, proyek peningkatan jalan Gunungpati - Sampangan, Semarang, tahap yang ke sekian dimulai lagi. Artinya, penglaju macam saya akan berkawan baik dengan situasi macet selama beberapa bulan ke depan.

Macet? Sebenarnya nggak juga sih. Membangun jalan pun bergantian lajurnya, jadi kami masih bisa melintasi separuh lajur dengan cara bergantian melewatinya. Pasukan "pak ogah" pun sudah bersiap (mungkin) 24 jam untuk membantu kelancaran buka-tutup jalan selama proyek berlangsung. Lalu kenapa pagi tadi sampai macet? Jawabnya, karena para "pak ogah" itu terlambat datang ke TKP!

Hahaha... Mudah sekali menyalahkan orang lain ya?


Ada yang kenal gambar di atas? Gambar yang saya comot dari google itu adalah situasi mudik dengan macet terparah di exit tol Brebes Timur 2016 lalu. Beramai-ramai ingin "merasakan" lewat jalan tol baru, padahal infrastruktur pendukung belum sempurna, didukung belum optimalnya kesadaran berlalu lintas yang baik. Macet berhari-hari di jalan tol sampai langkanya BBM di wilayah Tegal-Brebes dan sekitarnya, belum bisa saya lupakan sepenuhnya.

Pernah menemui postingan seseorang yang mengunggah video situasi lalu lintas di India? Ah, kemacetan Brexit belum seberapa dibanding kemacetan setiap hari di sebuah kota di India itu. Jakarta pun yang sudah menjadi langganan macet, masih kalah semrawut. Bandung yang belakangan (pernah) jadi jawara kota tersering macet, belum bisa menggambarkan semrawutnya kendaraan seperti dalam video ini.

Di Semarang, Jakarta, Bandung, India, atau di mana pun macet kita temui, kebanyakan faktor pencetusnya adalah pengguna jalan itu sendiri. Yes, saat kesadaran berlalu lintas dengan tertib dan baik belum bisa difahami apalagi diaplikasikan, macet yang seharusnya tak seberapa, akan menjadi macet yang sangat parah. Saat semua orang memosisikan diri pada situasi "harus segera sampai, takut terlambat", maka yang terjadi adalah semua orang akan terus melajukan kendaraannya merangsek ke depan. Yang tadinya hanya tersendat, pelan-pelan jalannya, tak butuh waktu lama akan mandeg semua kendaraan, tak mampu bergerak ke mana pun.

Simpel ya...
Sadari bahwa setiap orang punya hak yang sama di jalan. Bahwa setiap orang berada dalam kondisi yang sama dengan kita, ingin segera sampai ke tujuan dengan selamat. Dengan berhenti sejenak, bukan hanya memberi kesempatan kendaraan lain bergerak dan mengurai macet, namun juga memberi jeda pada kita untuk rileks barang sebentar. Perlu lho, tangan, kaki, juga pikiran yang mulai ikut semrawut, dilegakan sedikit dengan sekadar menarik nafas panjang beberapa kali. Yakin kok, kalau sudah terbiasa, "intuisi" kita bekerja otomatis kapan kita jalan, kapan berhenti memberi jeda.

Nah, PR banget untuk menyinkronan "intuisi" dengan orang di sekitar. Sering nih, saya melihat dari jauh, ada orang yang sedang bersiap menyeberang. Saya kebetulan membaca situasinya memungkinkan kok kalau saya mengurangi kecepatan dan memberi kesempatan dia untuk menyeberang. Lah giliran saya sudah semakin dekat bahkan hampir berhenti, orang tersebut nggak kunjung menyeberang. Rupanya ada kendaraan lain di belakang saya yang masih berjalan dengan kecepatan penuh mendahuli saya.

Waduh, belum kompak nih kita...
Ngeselin kan?

#ODOP #ODOP7 #BloggerMuslimahIndonesia





1 komentar:

  1. Intinya saling mengerti ya kak?
    Aisyah juga ada di sana saat kemacetan Brexit.. ^^

    BalasHapus